Sehabis pulang menempuh 9 hari perjalanan di Vietnam, Thailand, dan Kamboja, keinginan saya dari dulu adalah merasakan kehidupan di luar negeri, terutama di Eropa. Saya ngga tertarik ke luar negeri kalo cuma untuk jalan-jalan, menghabiskan uang ortu, belanja-belanja, naik bus turistik, foto-foto, dsb. Tapi saya mau mencoba TINGGAL di sana. Saya harus merasakan itu entah bagaimana caranya. Tapi karena baru lulus kuliah dan belum terlalu lama bekerja, jadi terpaksa cari jalan ‘mudah’ untuk cari jalan ke Eropa.
Oke, itu awal niatnya. Entah mengapa tiba2 teringat suatu momen beberapa bulan lalu di Kansas (kantin kampus) bersama Retta dan temannya yang baru pulang dari Jerman setelah setahun lamanya. Retta berbisik, “Cha, gw mau ke Belgia bulan depan.” Oke, saya langsung sirik. Kita pun berbagi cerita dengan temannya juga. Ternyata dia baru selesai mengikuti program Au Pair. Bingung? Oke saya jelasin dikit. Au Pair itu adalah program khusus untuk anak-anak muda berkesempatan tinggal di rumah keluarga ‘native’ suatu Negara. Tujuan Au Pair ini adalah memperkenalkan bahasa dan budaya negara setempat kepada anak muda tersebut. Kita akan dianggap seperti keluarga sendiri, diberi kamar sendiri, makan dan tinggal sebebasnya di rumah mereka. Kita WAJIB kuliah/kursus bahasa di kampus minimal 5-10 jam/minggu. Semuanya itu biasanya dibayarin. Nah pertanyaannya, kenapa keluarga itu mau? Krn mereka butuh bantuan kita untuk menjaga anak-anaknya selagi orang tuanya ngga ada di rumah atau sedang kerja. Kita pun akan diberi uang saku rata-rata 300-400 euros per bulan dan jam kerja dibatasi maksimal 30 jam/minggu. Diminta berpartisipasi dalam hal menjaga rumah? Ya wajar! Anggap aja kita tinggal di rumah saudara, paling ngga bantu beres-beres dikit itu normal. Lagian syukurlah sedari dulu sudah biasa mengurus rumah sendiri, karena kita ngga ada 'mbak' di rumah. Saya juga yang memasak untuk orang tua saya. Aku cinta masak! I'm really happy for myself, because I am not a 'manja' girl. Thank you, mama!
Oke, selintas di pikiran saya adalah, baby sitter kah kita? Gila, udah cape-cape jungkir balik kuliah di UI, masa di sana jadi baby sitter?!
Emang dasar mental Asia, selalu takut sama hal-hal yang berbau ‘melayani’.
Lalu saya pun mencari tahu karena penasaran. Saya mulai mencari-cari info, website, dan semua hal yang berbau Au Pair. Intinya saya menemukan bahwa… Wow. Hampir sebagian mahasiswa-mahasiswi bule itu tertarik untuk ikutan ini, dan program ini sangat dikenal di Eropa dan Amerika. Kita ngga banyak tau karena di Asia memang jarang sekali ada. Intinya saya mulai tertarik.
Because I don’t know why, I need to get out of my hometown just for a while. I was never so sure like this in my life. Because here, in Jakarta, I have too much stressful.
Mungkin terdengar klasik, tapi emang bener tinggal dan kerja di Jakarta itu (I was a journalist for www.detik.com for a couple of months) bener-bener bikin stress. Pagi-pagi harus bangun, naik bus, berdiri pula, macet, panas! Dan keadaan sosial di Indonesia membuat saya pusing. Masyarakat kita terlalu mudah diprovokasi, keadaan semakin genting, isu pertentangan agama makin kencang, orang-orang berdebat, berantem, mau menang sendiri dan menganggap agamanya paling benar. Kalo dipikir-pikir, ngapain dipikirin sih?! Apa urusannya?! Cuma saya ini orangnya gampang terpicu keadaan, ngga bisa kalo ngga melihat sekitar. Apalagi kalo udah buka Twitter, duh kalo udah buka Twitter itu saya merasa berada di satu ruangan berisik yang isinya ratusan orang yang lagi gosipin orang, haha.
My boyfriend gave me so much the influence too. Dia sering cerita gimana kehidupan di Jerman (dia udah tinggal di Berlin sejak 16 tahun lalu), gimana orang-orang Eropa itu benar-benar memiliki mental dan budaya berbeda. Mereka cuek dan ngga suka ngomongin orang di belakang (well, guess what I’m thinkin’bout the Indonesian, guys!). Mereka menghargai kehidupan yang teratur dan seimbang. Terus perbincangan dengan sobat-sobat. Sheri, Ismi, Ratri, yang rata-rata bosan dengan kehidupan di Jakarta dan ingin merantau. One of them too is Keyne, my best partner, yang baru aja cabut ke Itali karena ada program beasiswa belajar bahasa Italia selama satu semester di Perugia. Quel bonheur, ma belle!
Oke, saya putuskan untuk ikut program ini. Dari dulu saya memang suka mengambil jalan yang berbeda dari orang lain. Biar punya pengalaman beda sendiri dari siapa pun.
Saya mulai daftar di website paling terpercaya, www.aupairworld.net. Sinting, ternyata ngga segampang yang saya kira nyari keluarga ini ya! Jarang banget yang say ‘yes’ sama profil saya. Alasannya sebenernya logis sih. Mereka males nyari orang yang administrasinya bakal ribet setengah mati. Ya karena kita orang Asia. Susah masuk Eropa. Oh, nasib.
Pemilihan negara ini juga susah. Tentunya saya pilih Prancis, karena ngenes aja udah belajar budaya Prancis 5 tahun di UI tapi ngga pernah tinggal beneran di sana. Tapi Itali dan Belgia sepertinya menarik juga. Belanda dan Jerman juga. Lebih mudah administrasinya.
Jadi ya, udah ngirim 50 ‘intro message’ per hari. Itu juga yang say ‘yes’ Cuma 2-3 keluarga. Terus abis itu email-email an. Kenalan. Info-info penting lainnya. Abis itu skype-an. Kalo diitung-itung, saya udah 4 kali skype-an sama keluarga di Prancis. Pernah satu keluarga juga di Roma, Italia, tapi ujung-ujungnya ternyata orang Indonesia ngga bisa jadi Au Pair ke Itali. Kali ini saya putuskan untuk cari keluarga di Prancis aja, utk menghindari konsentrasi yang terpecah-belah bingung pilih negara.
Oh iya, soal izin dari nyokap bokap ini yang susah. Intinya musti menjelaskan super panjang dan super lebar ttg Au Pair ini. Saya ngga menyalahkan mereka yang khawatir sih, karena itu wajar. Cuma yang mereka pikir itu Au Pair adalah pekerja yang ngga ada bedanya sama TKW di Malaysia dan Arab. Astaga, beda banget kali. Tata hidup Asia dan Eropa itu sungguh-sungguh berbeda. Ini kita belajar bahasa dan budaya, sekaligus tes mental. Tapi sekali lagi saya tekankan, SAYA PAHAM, perasaan mereka sungguh wajar. Mental kita orang Indonesia, selalu sensitif kalo disinggung soal ‘melayani’. Kita selalu takut menjadi ‘babu’, dan menjadi babu rumahan itu dianggap pekerjaan yang paling rendah serendah-rendahnya. Padahal kalo dipikir-pikir semua orang di dunia ini adalah babu, pembantu adalah babu, karyawan di kantor adalah babu, menteri adalah babu, bahkan presiden juga babu, karena kita selalu melayani orang lain dan bekerja untuk orang lain. Jadi tahap demi tahap saya jelaskan kepada keluarga, apa tujuan saya ke sini, dan ngapain aja. Akhirnya mereka mengerti. And honestly I don't really care about 'status' thing, and I don't care what people said about what I will do. Whatever.
September…. Belum ada kemajuan…
Oktober… Sama aja…
Saya hampir menyerah di bulan ini. Bingung bukan kepalang. Mau cari kerja beneran nanggung, tapi nungguin kepastian yang ngga pasti juga stress. Mungkin bulan ini adalah bulan terburuk dalam hidup saya. Stress luar biasa karena hidup saya terkatung-katung. Tapi kalo kata Reshi (temen kampus yang msh jadi aupair di Belanda), “Jangan pernah menyerah cari keluarga, Cha, ini tantangan belum ada apa-apanya dibanding pas elo udah di sini!” Hmm oke, itu nyemangatin banget, tapi nakut-nakutin juga yaa, haha.
November… Akhirnya! Mereka adalah keluarga Estay yang tinggal di Caen, Normandie, semenanjung pantai utara Prancis, dua jam dari Paris. Anaknya dua, Lily dan Mina, 4 th dan 2 th. I promised you guys, while I met them in Skype, I was totally in love with thoses lil’girls, and can’t damnly wait for coming! Oke, kita urus-urus semua surat yang ribetnya setengah mati. Atestasi kampus, sim internasional (krn gw akan nyetir di sana), kontrak Au Pair, tiket, asuransi perjalanan, ijazah, dll. I hate so damnly much the birocrazyyy! Belum lagi interview dari Campus France dll. Tapi semua itu adalah proses. Wajar.
Yup, and they were reserved an airplane ticket for me, KLM Dutch Airlines, directly Jakarta-Paris in 7th January 2011.
Desember… masih urus surat-surat…
Tahun baru. Udah panik setengah mati. MASIH BELUM KELAR VISA NYA!!!!!!!!!! Padahal tanggal 7 udah berangkat! Honestly I’ve already packed my baggage. Tapi kalo ternyata visa nya ditolak, ya nangis sejadi-jadinya.
2 Januari… Deg-degan…….
3 Januari… Mau mati ngga sih rasanya…….
4 Januari… Lemes……….
5 Januari… A CALL FROM EMBASSY!!! I’ve got my VISA!! Langsung ngebut ke kedubes buat ngambil visa.
6 Januari Siap-siap…. Deg—deg an. Parah.
7 Januari Had some quality time with my family and after, my boyfriend. I cried loudly. He cried silently. We were hugged each other so tightly. I don’t know maybe this was the best moment that I ever spent with him. Because I knew that I’ll go back home nine months later, that I’ll miss him so much and we will be together again, it could be the best feeling.
Berangkat. Dalam nama Tuhan, everything’s gonna be alright. AMIN.
Hai Poca, kenalkan saya Zipora. Senang neu tulisanmu. Tapi sekaligus sedih, soalnya baru baca kalo Indonesia ga bisa jadi Au Pair di Italy. Padahal udah setengah settled. Nemu host baik banget. Dia mau bayarin flights dan udah nyari2in language course. Sekarang aku udagh siap2 mau apply visa juga. Btw, kamu dapat info soal Indo ga bisa jd Au Pair di Italy darimana ya? Please kindly advise. Thank you! Salam kenal! (Another girl who would love to drop her ass in 6 continents! :))
ReplyDeletehei, aku juga baru nemu host di itali. emang bener ya ga bisa apply au pair di sana? aku udh cari info masih belum ada yg jelas. klo ada informasi, bisa kirim ke nrlnsands@gmail.com thanks :)
Delete